Selasa, 20 Desember 2011

PROSES PERKEMBANGAN MORAL DAN SPIRITUAL PESERTA DIDIK

PROSES PERKEMBANGAN MORAL DAN SPIRITUAL PESERTA DIDIK
Perkembangan moral merupakan suatu yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang harus dilakukan manusi dalam berinteraksi dengan orang lain. Sehingga pengalaman berinteraksi dengan orang lain menjadi pemicu dalam memahami tentang prilaku mana yang baik dikerjakan dan yang tiadak baik dikerjakan. Selain itu perkembangan moral juga terjadi karena proses penguatan, penghukuman, dan peniruan.  penggambaran atau pembagian struktur kepribadian manusia itu sendiri dibagi menjadi tiga yaitu, ide, ego dan super ego. Sehingga seseorang yang bermoral yaitu seseorang yang menerima dan menaati sistem peraturan yang ada serta bertindak sesuai atas penilaian baik burknya sesuatu. Moral bagi seorang remaja merupakan suatu kebutuhan yang penting, terutama sebagai pedoman menemukan identitas dirinya, mengembangakan hubungan personal yang harmonis dan menghindari konflik-konflik yang terjadi pada masa transisi. Perkembangan spiritualitas adalah perkembangan kualitas atau sifat dasar dalam berhubungan dengan diri sendiri orang lain, tuhan, dan alam serta kebutuhan terdalam dari diri seseorang untuk menemukan identitas dan makna hidup yang penuh arti. Dan terjadinya perkembangan spiritual atau kepercayaan dapat berkembang hanya dalam lingkup perkembangan intlektual dan emosional yang dicapai oleh seseorang. Dimana proses terjadinya secara bertahap melalui tahapan-tahapan, priml faith atau kepercayaan terpenting, intuitive-projective atau berdasarkan sifat proyeksi, mythic-literal faith atau mengartikan karakter kepercayaan, synthetic-conventional faith atau meniru kepercayaan adat, individuative- reflective faith atau individu dalam membayangkan kepercayaan. Conjunctive-faith atau kesadaran akan keterbatasan. Dan universalizing faith atau perasaan ketuhanan.
Kata Kunci : Perkembangan moral, pengalaman berinteraksi, proses penguatan, penghukuman, dan peniruan, struktur kepribadian manusia, seseorang yang bermoral, Moral bagi seorang remaja, Perkembangan spiritualitas, perkembangan intlektual dan emosional, proses.







LATAR BELAKANG
Perkembangan moral merupakan proses perkembangan kepribadian siswa selaku seorang anggota masyarakat dalam berhubungan dengan orang lain. Perkembangan ini berlangsung sejak masa bayi hingga akhir hayat. Perkembangan itu sendiri merupakan proses perubahan kualitatif yang mengacu pada kualitas fungsi organ-organ jasmaniah, dan bukan pada organ jasmani tersebut, sehingga penekanan arti perkembangan terletak pada kemampuan organ psikologis (Purwati dan Nurwidodo.2000:22). Perkembangan moral hampir dapat dipastikan merupakan perkembangan sosial, sebab perilaku moral pada umumnya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial. Seorang siswa hanya akan berperilaku sosial tertentu secara memadahi apabila menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan untuk menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan
Seperti dalam proses perkembangan yang lannya, proses perkembangan moral selalu berkaitan dengan proses belajar. Belajar itu sendiri memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan yang belum terpenuhi dengan kompetensi-kompetensi yang dimiliki (Mudjiman.2008:73). Konsekuensinya, kualitas hasil perkembangan sosial sangat bergantung pada kualitas proses belajar (khususnya belajar sosial), baik dilingkungan sekolah, keluarga, maupun di lingkungan masyarakat. Hal ini bermakna bahwa proses belajar sangat menentukan kemampuan siswa dalam bersikap dan berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral, agama, moral tradisi, moral hukum, dan norma moral yang berlaku dalam masyarakat.
Sehingga dapat diartikan bahwa, perkembangan moral merupakan perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konfensi mengenai apa yang yang seharusnya dilakukan okleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain (desmita.2009:258). Hal ini juga sesuai dengan pendapat piaget dalam Desmita (2009:260) bahwa, hakikat moralitas yaitu kecenderungan untuk menerima sistem peraturan.
spiritual adalah suatu ragam konsep kesadaran individu akan makna hidup, yang memungkinkan individu berpikir secara kontekstual dan transformatif sehingga kita merasa sebagai satu pribadi yang utuh secara intelektual, emosional, dan spiritual. Kecerdasan sepiritual merupakan sumber dari kebijaksanaan dan kesadaran akan nilai dan makna hidup, serta memungkinkan secara kreatif menemukan dan mengembangkan nilai-nilai dan makna baru dalam kehidupan individu. Kecerdasan spiritual juga mampu menumbuhkan kesadaran bahwa manusia memiliki kebebasan untuk mengembangkan diri secara bertanggungjawab dan mampu memiliki wawasan mengenai kehidupan serta memungkinkan menciptakan secara kreatif karya-karya baru.. Sedngkan ingersol dalam Desmita (2009:264) menyatakan, spiritualitas sebagai wujud karakter spiritual, kualitas atau sifat dasar dan upaya dalam berhubungan atau bersatu dengan tuhan.
Sehingga dapat diartikan bahwa, kecerdasan spiritual sebagai bagian dari psikologi memandang bahwa seseorang yang beragama belum tentu memiliki kecerdasan spiritual. Namun sebaliknya, bisa jadi seseorang yang humanis-non-agamis memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, sehingga sikap hidupnya inklusif, setuju dalam perbedaan (agree in disagreement), dan penuh toleran. Hal itu menunjukkan bahwa makna "spirituality" (keruhanian) disini tidak selalu berarti agama atau bertuhan. Sehingga dari kuti-kutipan diatas penulis memilih judul proses perkembangan moral dan spiritual peserta didik karena, proses merupakan suatu hal yang sangat penting, dimana sangat menentukan hasil atau pencaapain puncak dan akhirnya.

MAKNA PERKEMBANGAN MORAL DAN SPIRITUAL PESERTA DIDIK
1.      Makna Perkembangan Moral Peserta Didik
. Perkembangan sosial hampir dapat dipastikan merupakan perkembangan moral, sebab perilaku moral pada umumnya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial. Seorang siswa hanya akan berperilaku sosial tertentu secara memadahi apabila menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan untuk menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan. Perkembangan moral merupakan suatu kebutuhan yang penting bagi remaja dalam menemukan identitas dirinya, menghubungkan sikap personal yang harmonis, dan menghindari konflik-konflik peran yang terjadi selama transisi, sehingga perkembangan moral dapat di artikan sebagai perkembangan yang berkaitan dengan aturaan dan konvensi mengenai apa yang harus dilakukan oleh manusia dalam interaksi dengan orang lain (desmita,2009:258).
Dalam sistem moralitas, baik dan buruk dijabarkan secara kronologis mulai yang paling abstrak hingga yang lebih operasional. Nilai merupakan perangkat moralitas yang paling abstrak. Nilai merupakan suatu perangkat keyakinan atupun perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak kusus kepada pola pemikiran, perasaan, keterikatan dan prilaku (syahidin dkk.2009:239). Moral dapat berbentuk formula, peraturan, atau ketentuan pelaksanaan, misalnya saja etika belajar, etika mengajar dan lain sebagainya. Dilihat dari sumber nilai ataupun moral dapat diambil dari wahyu ilahiataupun dari budaya. Dengan demikian dapat diartikanbahwa, moral sama saja dengan akhlak manakala sumber atau produk budayasesuai dengan prinsip-prinsip akhlak (syahidin dkk.2009:239).
2.   Makna Perkembangan Spiritual Peserta Didik
Echoks dan Shadily dalam Desmiata (2009:264) berpendapat bahwa, kata sepiritual berasal dari bahasa Inggris yaitu ”spirituality”. Kata dasarnya “spirit” yang berarti roh, jiwaa, semangat. Sedangkan Ingersoll dalam Desmiata (2009:264) berpendapat bahwa, kata sepiritual berasal dari kata latin “spiritus” yang berarti, luas atu dalam (breath), ketegu han hati atau keyakinan (caorage), energy atau semangat (vigor), dan kehidupan. Kata sifat spiritual berasal dari kata latin spiritualis yang berarti ”of the spirit” (kerohanian)
Menurut Aliah dan purwakania hasan dalam Desmita (2009:265) menyatakan spiritualitas memiliki ruang lingkup dan makna pribadi yang luas,  dengan kata kunci sebagai berikut :
a.       Meaning (makna). Makna merupkan sesuatu yang signifikan dalam kehidupan manusia, merasakan situasi, memiliki dan mengarah pada suatu tujuan.
b.      Values (nilai-nilai). Nilai-nilai adalah kpercayaa, standard an etika yang dihargai.
c.       Transcendence (transendensensi). Transendensi merupakan pengalaman, kesadaran dan penghargaan terhadap dimensi transendental bagi kehidupan di atas diri seseorang.
d.      connecting (bersambung). Bersambung adalah meningkatkan kesadaran terhadap hubungan dengan diri sendiri, orang lain, tuhan dan alam.
e.       Becoming (menjadi). Menjadi adalah membuka kehidupan yang menuntut refleksi dan pengalaman, termasuk siapa seseorang dan bagai mana seseorang mengetahui.
 Dari kutipan diatas dapat diartikan bahwa perkembangan spiritual adalah jiwa seorang manusia memiliki semangat dan memiliki kepercayaan yang dalam terhadap diiri sendiri, orang lain, tuhan dan alam, yang terjadi karena pengalaman dan kesadaran dalam kehidupan diatas diri seseorang. Sedangkan pendapat Fowler dalam Desmita (2009:279) menyebut spiritual atau kepercayaan suatu yang universal, ciri dari seluruh hidup, tindakan pengertian diri semua manusia, entah mereka menyatakan diri sebagai manusia yang percaya dan orang yang berkeagamaan atau sebagai orang yang tidak percaya sebagai apapun.
KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN SPIRITUAL
A.    Karakteristik perkembangan spiritualitas anak usia sekolah
Tahap mythic-literal faith, yang dimulai usia 7-11 tahun. Menurut Fowler dalam desmita (2009:281), berpendapat bahwa tahap ini, sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya, anak mulai berfikir secara logis dan mengatur dunia dengan katagori-katagori baru. Pada tahap ini anak secara sistematis mulai mengambil makna dari tradisi masyarakatnya, dan secara khusus menemukan koherensi serta makna pada bentuk-bentuk naratif.
Sebagai anak yang tengah berada dalam tahap pemikiran operasional konkret, maka anak usia sekolah dasar akan memahami segala sesuatu yang abstrak dengan interpretasi secara konkret. Hal ini juga berpengaruh terhadap pemahaman mengenai konsep-konsep keagamaan. Dengan demikian, gagasan-gagasan keagamaan yang bersifat abstrak yang tadinya dipahami secara konkret, seperti tuhan itu satu,tuhan itu amat dekat, tuhan ada di mana-mana, mulai dapat di pahami secara abstrak.
B.  Karakteristik perkembangan spiritualitas remaja
Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya keyakinan agama  remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada awal masa anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan berfikir simbolik Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada di awan, maka pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman terhadap keyakinan agama sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
Oleh sebab itu, meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuan dalam perkembangan kognitifnya. Mungkin mereka mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri. Menurut Muhammad Idrus dalam Desmita (2009:283), pola kepercayaan yang dibangun remaja bersifat konvensional, sebab secara kognitif, efektif dan sosial, remaja mulai menyesuaikan diri dengan orang lain yang berarti baginya (significant others) dan dengan mayoritas lainya.

PERKEMBANGAN MORAL DAN SPIRUTYAL TERHADAP PENDIDIKAN     Untuk mengembangkan moral dan spiritual, pendidikan sekolah formal yang di tuntut untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan moral dan spiritual mereka, sehingga mereka dapat menjadi manusia yang moralis dan religious.Sejatinya pendidikan tidak boleh menghasilkan manusia bermental benalu dalam masyarakat, yakni lulusan pendidikan formal yang hanya menggantungkan hidup pada pekerjaan formal semata. Pendidikan selayaknya menanamkan kemandirian, kerja keras dan kreatifitas yang dapat membekali manusianya agar bisa survive dan berguna dalam masyarakat (Elmubarok,2008:30).
       Strategi yang mungkin dilakukan guru di sekolah dalam membantu perkembangan moral dan spiritual peserta didik yaitu sebagai berikut.
a.       Memberikan pendidikan moral dan keagamaan melalui kurikulum tersembunyi, yakni menjadi sekolah sebagai atmosfer moral dan agama secara keseluruhan.
b.      Memberikan pendidikan moral secara langsung, yakni pendidikan moral dengan pendidikan pada nilai dan juga sifat selam jangka waktu tertentu atau menyatukan nilai-nilai dan sifat-sifat tersebut ke dalam kurikulum.
c.       Memberikan pendekatan moral melalui pendekatan klarifikasi nilai, yaitu pendekatan pendidikan moral tidak langsung yang berfokus pada upaya membantu siswa untuk memperoleh kejelasan mengenai tujuan hidup mereka dan apa yang berharga untuk di cari.
d.      Menjadikan wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk menghayati agamanya, tidak hanya sekedar bersifat teoritis, tetapi penghayatan yang benar-benar dikontruksi dari pengalaman keberagamaan.
e.       Membantu peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui pendekatan spiritual paranting,seperti:
1.      Memupuk hubungan sadar anak dengan tuhan melalui doa setiap hari.
2.      Menanyakan kepada anak bagaimana tuhan terlibat dalam aktivitasnya sehari-hari.
3.      Memberikan kesadaran kepada anak bahwa tuhan akan membimbing kita apabila kita meminta.
4.      Menyuruh anak merenungkan bahwa tuhan itu ada dalam jiwa mereka dengan cara menjelaskan bahwa mereka tidak dapat melihat diri mereka tumbuh atau mendengar darah mereka mengalir, tetapi tahu bahwa semua itu sungguh-sungguh terjadi sekalipun mereka tidak melihat apapun (Desmita,2009:287).

PROSES PERKEMBANGAN MORAL DAN SPIRITUAL PESERTA DIDIK
1.   Poses Perkembangan Moral Peserta Didik
Teori Perkembangan moral dalam psikologi umum menurut Kohlbergdalam Desmita (2009:261) terdapat 3 tingkat dan 6 tahap diantaranya sebagai berikut :
Tingkatan perkembngan moral peserta didik yaitu :
1.    Perkenvensional moralitas. Pada level ini anak mengenal moralitas berdasarkan dampak yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan, yaitu menyenangkan (hadiah) atau menyakitkan, ( hukuman). Anak tidak melanggar aturan karena takut akan ancaman hukuman dari otoritas.
2.    Konvensional. Suatu perbuatan dinilai baik oleh anak apabila mematuhi harapan otoritas atau kelompok sebaya.
3.    Pasca konvensional. Pada level ini aturan dan institusi dari masyarakat tidak dipandang sebagai tujuan akhir, tetapi di perlukan sebagai subjek. Anak mentaati aturan untuk menghindari hukuman kata hati.
Tahap perkembangan moral peserta didik yaitu :
1.      Orientasi kepatuhan dan hukuman pemahaman anak tentang baik dan buruk ditentukan oleh otoritas. Kepatuhan terhadap aturan adalah untuk menghindari hukuman dari otoritas.
2.      Orientasi hedonistic instrumental suatu perbuatan dinilai baik apabila berfungsi sebagai instrumen untuk memenuhi kebutuhan atau kepuasan diri.
3.      Orientasi anak yang baik tindakan berorientasikan pada orang lain. Suatu perbuatan dinilai baik apabila menyenangkan bagi orang lain.
4.      Orientasi keteraturan dan otoritas prilaku yang dinilai baik adalah menunaikan kewajiban, menghormati otoritas, dan memelihara ketertiban sosial.
5.      Orientasi kontrol sosial legalistik ada semacam perjanjian antara dirinya dan lingkungan sosial. Perbuatan dinilai baik apabila sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
6.      Orientasi kata hati kebenaran ditemukan oleh kata hati, sesuai dengan prinsip-prinsip etika universal yang bersifat abstrak dan penghormatan terhadap martabat manusia

2. Proses Perkembangan Spiritual Peserta Didik
Teori Fowler dalam Desmita (2009:279) mengusulkan tahap perkembangan spiritual dan keyakinan dapat berkembang hanya dalam lingkup perkembangan intlektual dan emosional yang dicapai oleh seseorang. Dan ketujuh tahap perkembangan agama itu adalah :
1.      Tahap prima faith. Tahap keprcayaan ini terjadi pada usia 0-2 tahun yang ditandai dengan rasa percaya dan setia anak pada pengasuhnya. Kepercayaan ini tumbuh dari pengalaman relasi mutual. Berupa saling memberi dan menerima yang diritualisasikan dalam interaksi antara anak  dan pengasuhnya.
2.      Tahap intuitive-projective, yang berlangsung antara usia 2-7 tahun. pada tahap ini kepercayaan anak bersifat peniruan, karena kepercayaan yang dimilikinya masih merupakan gabungan hasil pengajaran dan contoh-contoh signivikan dari orang dewasa, anak kemudian berhasil merangsang, membentuk, menyalurkan dan mengarahkan perhatian seponten serta gambaran intuitif  dan proyektifnya pafda ilahi.
3.      Tahap mythic-literal faith, Dimulai dari usia 7-11 tahun. pada tahap ini, sesuai dengan tahap kongnitifnya, anak secara sistematis mulai mengambil makna dari tradisi masyarakatnya. Gambaran tentang tuhan diibaratkan sebagai seorang pribadi, orangtua atau penguasa, yang bertindak dengan sikap memerhatikan secara konsekuen, tegas dan jika perlu tegas. 
4.      Tahap synthetic-conventional faith, yang terjadi pada usia 12-akhir masa remaja atau awal masa dewasa. Kepercayaan remaja pada tahap ini ditandai dengan kesadaran tentang simbolisme dan memiliki lebih dari satu cara untuk mengetahui kebenaran. Sistem kepercayaan remaja mencerminkan pola kepercayaan masyarakat pada umumnya, namun kesadaran kritisnya sesuai dengan tahap operasional formal, sehingga menjadikan remaja melakukan kritik atas ajaran-ajaran yang diberikan oleh lembaga keagamaan resmi kepadanya. Pada tahap ini, remaja juga mulai mencapai pengalaman bersatu dengan yang transenden melalui symbol dan upacara keagamaan yang dianggap sacral. Symbol-simbol identik kedalaman arti itu sendiri. Allah dipandang sebagai “pribadi lain” yang berperan penting dalam kehidupan mereka. Lebih dari itu, Allah dipandang sebagai sahabat yang paling intim, yang tanpa syarat. Selanjutnya muncul pengakuan bahwa allah lebih dekat dengan dirinya sendiri. Kesadaran ini kemudian memunculkan pengakuan rasa komitmen dalam diri remaja terhadap sang khalik    
5.      Tahap individuative- reflective faith, yang terjadi pada usia 19 tahun atau pada masa dewasa awal, pada tahap in8i mulai muncul sintesis kepercayaan dan tanggung jawab individual terhadap kepercayaan tersebut. Pengalaman personal pada tahap ini memainkan peranan penting dalam kepercayaan seseorang. Menurut Fowler dalam Desmita (2009:280) pada tahap ini ditandai dengan.
a.       Adanya kesadaran terhadap relativitas pandangan dunia yang diberikan orang lain, individu mengambil jarak kritis terhadap asumsi-asumsi sistem nilai terdahulu.
b.      Mengabaikan kepercayaan terhadap otoritas eksternal dengan munculnya “ego eksekutif” sebagai tanggung jawab dalam memilih antara prioritas dan komitmen yang akan membantunya membentuk identitas diri. 
6.      Tahap Conjunctive-faith, disebut juga paradoxical-consolidation faith, yang dimulai pada usia 30 tahun sampai masa dewasa akhir. Tahap ini ditandai dengan perasaan terintegrasi dengan symbol-simbol, ritual-ritual dan keyakinan agama. Dalam tahap ini seseorang juga lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan yang paradoks dan bertentangan, yang berasal dari kesadaran akan keterbatasan dan pembatasan seseorang. 
7.      Tahap universalizing faith, yang berkembang pada usia lanjut. Perkembangan agama pada masa ini ditandai dengan munculnya sisitem kepercayaan transcendental untuk mencapai perasaan ketuhanan, serta adanya desentransasi diri dan pengosongan diri. Pristiwa-prisiwa konflik tidak selamanya dipandangan sebagai paradoks, sebaliknya, pada tahap ini orang mulai berusaha mencari kebenaran universal. Dalam proses pencarian kebenara ini, seseorang akan menerima banyak kebenaran dari banyak titik pandang yang berbeda serta berusaha menyelaraskan perspektifnya sendiri dengan perspektif orang lain yang masuk dalam jangkauan universal yang paling lua.
KESIMPULAN
Sehingga dapat diartikan bahwa, perkembangan moral merupakan perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konfensi mengenai apa yang yang seharusnya dilakukan okleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain dan perkembangan spiritual adalah jiwa seorang manusia memiliki semangat dan memiliki kepercayaan yang dalam terhadap diiri sendiri, orang lain, tuhan dan alam, yang terjadi karena pengalaman dan kesadaran dalam kehidupan diatas diri seseorang. Dan proses perkembangan moral terjdi secara bertahap yaitu, Orientasi kepatuhan dan hukuman,Orientasi hedonistic instrumental suatu perbuatan, Orientasi anak yang baik tindakan berorientasikan pada orang lain,Orientasi keteraturan dan otoritas prilaku yang dinilai baik,Orientasi kontrol sosial legalistik ada semacam perjanjian antara dirinya dan lingkungan,Orientasi kata hati kebenaran ditemukan oleh kata hati. Dan tahapan moralitas yaitu, priml faith atau kepercayaan terpenting, intuitive-projective atau berdasarkan sifat proyeksi, mythic-literal faith atau mengartikan karakter kepercayaan, synthetic-conventional faith atau meniru kepercayaan adat, individuative- reflective faith atau individu dalam membayangkan kepercayaan. Conjunctive-faith atau kesadaran akan keterbatasan. Dan universalizing faith atau perasaan ketuhanan.



DAFTAR PUSTAKA
Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Elmubarok, Zaim. 2008. Membumikan pendidikan nilai. Bandung: CV. Alfabeta
Mudjiman, Haris. 2008. Belajar Mandiri. Surakarta : UNS (UNS pres)

Poerwati, Endang dan Nurwidodo. 2000. Perkembangan Peserta Didik. Malang: FKIP – UMM.
Syahidin, dkk. 2009. Moral Kongnisi Islam. Bandung : CV Alvabeta 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar